kolom budaya


Budaya dan Nasionalisme[1]
Iji Jaelani[2]
      
Peringatan hari kebangkitan nasional yang dilaksanakan atas kerja sama CIAYUMAJAKUNING (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan) kemarin, merupakan inovasi baru yang mendapatkan apresiasi dari banyak pihak, baik oleh internal orda –organisasi daerah- Priangan Timur maupun organisasi dan mahasiswa UIN yang lain. Terobosan tersebut di antaranya karena beberapa tahun belakangan ini belum pernah terbuka akses untuk menjalin kerja sama di antara orda priangan tersebut. Di sisi lain, substansi kegiatan langsung menyentuh kebutuhan masing-masing orda, yakni mensinergikan nilai-nilai kebangkitan nasional dengan budaya lokal yang kini jarang terakomodasi. Bahkan, nilai tambah moment tersebut adalah mampu menjalin silaturrahmi dengan empat bendera yang berlainan. Tidak heran jika acara tersebut menjadi pusat perhatian, terutama dengan tempat pelaksanaan di depan rektorat pada sore hari.

       Pada dasarnya, berkaitan dengan tema kebudayaan lokal yang diaktualisasikan menuju kebangkitan nasional bukan perkara yang mudah. Di satu sisi, budaya-budaya lokal di masing-masing daerah jarang dieksplorasi, bahkan jarang diinternalisasi menjadi kekayaan jati diri sendiri. Yang lebih parah, banyak yang yang tak merasa penting melestarikan tradisi/ kearifan lokal. Kenaifan budaya ini diakibatkan oleh westernisasi dan kelimpungan di tengah budaya global tanfa tahu karakteristik budaya sendiri sebagai identitas dalam menghadapi tantangan sekitar. Akhirnya, semua kebuadayaan lambat-laun hilang, bahkan kehilangan identitas dirinya sebagai makhluk yang berbudaya.
       Adapun nasionalisme yang sering menjadi “mantra” bagi kemajuan bangsa, sejatinya tak akan bisa termanifestasikan tanfa adanya unsur-unsur pembentuk identitas nasional. Semangat bhineka tunggal ika tak akan mampu menjadi pengikat keragaman jika budaya-budaya lokal telah  tercerabut dari akarnya, bahkan hilang. Nasionalisme merupakan akumulasi dari berbagai semangat kecintaan terhadap tanah air, adapun nilai-nilai tersebut merupakan aktualisasi dari budaya/ kearifan lokal. Kolerasi antara budaya lokal dengan nasionalisme ini merupakan  hal yang saling menopang untuk mewujudkan nasionalisme yang berbudaya sendiri, bukan nasionalisme yang diadopsi dari budaya luar dan kehilangan identitas bangsa.
       Tantangan ini, menurut para pemateri kegiatan tersebut, mampu diantisipasi melalui penghayatan, serta pelestarian budaya. Salah satu pemateri mengatakan, budaya bukan hanya tradisi yang turun temurun, tapi juga adalah kebiasaan yang telah melembaga. Berkaitan dengan hal ini, tradisi yang dimaksud adalah kebiasaan baik masing-masing orda.  Misalnya, ngopi bareng sambil membicarakan potensi dan permasalahan daerah, atau pun membahas berbagai permasalahan nasional. Hal ini dapat dipahami, mengingat mahasiswa daerah sebagai organ intelektual diharapkan mampu pendorong perubahan di masyarakat, dengan tetap menjaga budaya dan kearifan lokal.
            Dalam hal ini, HIMMAKA Bandung sebagai salah satu penjaga budaya lokal, dituntut untuk bisa melestarikan kekayaan budaya Majalengka sebagai identitas dan jati diri masyarakat Majalengka. Gemyung, sampiong, dan kecap Majalengka, merupakan salah-satu warisan budaya yang patut dilestarikan. Di samping itu, sikap elegan dan santun, sebagai salah satu representasi  karakteristik masyarakat Majalengka patut dijadikan nilai luhur untuk melakukan transformasi gagasan demi kemajuan Majalengka, hingga mendorong pembangunan bangsa sebagai wujud konkrit nasionalisme.
Lebih dari itu, tantangan terbesar HIMMAKA Bandung adalah bagaimana mengaktualisasi diri terhadap budaya lokal tersebut untuk membangun kebangkitan nasional. Faktanya, banyak kreasi budaya yang tidak dijadikan falsafah/ nilai luhur kehidupan. Tidak sedikit budaya yang hanya dijadikan wahana seremonial, tanpa mengambil pesan moral nenek moyang yang disisipkan pada budaya tersebut.
Terobosan diskusi panel peringatan hari kebangkitan nasional bertajuk “Aktualisasi diri melalui budaya lokal untuk Membangkitkan Semangat nasionalisme” ini merupakan babak baru untuk mewujudkan kecintaan terhadap tanah air yang diwujudkan melalui pendekatan budaya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai budaya. HIMMAKA Bandung sebagai bagian tersebut dituntut untuk mampu merefleksikan dan mengaktualisasikan budaya untuk membangkitkan semangat nasionalis. Semoga!!!
  



[1] Tulisan ini sebagai refleksi atas diskusi panel CIAYUMAJAKUNING pada peringatan hari kebangkitan nasional
[2] Penulis adalah mahasiwa Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Bandung, anggota HIMMAKA Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar