Tidur.... The Best Friend!!
Tidur bagiku adalah relaksasi paling ampuh untuk menghilangkan stress dan cape. Semua
penat
atau pun capai yang menyelimuti
selama beraktivitas seharian akan hilang dengan sekejap manakala tidur telah
tiba, apalagi tidur tersebut penuh nyenyak. Pengalaman membuktikan bahwa tidur
yang cukup akan terbebas dari stress, membuat tubuhku fit dan pikiran fresh. Lain halnya jika kekuarangan sitirahat di tengah banyak aktivitas,
apalagi aktivitas di luar yang menuntut untuk begadang semalaman, terasa benar
lunglai dan pusing.
Lain halnya
dengan banyak orang yang mempunyai
kelainan dengan tidur. Banyak diantaranya
sahabat-sahabat yang mengeluh lantaran sulit
tidur, bahkan tak bisa memejamkan mata hingga larut subuh. Tak sedikit juga yang
mengatakan alergi ngantuk dengan benda-benda tertentu, seperti selimut, bantal,
kasur. Begitu golongan kedua ini melihat hal-hal tersebut, atau berdekatan
dengannya, tiba-tiba imajinasi untuk hendak tidur langsung menyelimuti . Memang terkesan aneh dan mengada-ada, tapi
pengalaman berbicara demikian. Tidak aneh pula jika ada
yang cerdas karena tidurnya, di samping fenomena
orang banyak tidur adalah pangkal kebodohan. Pertanyaan mendasar adalah, “Bagaimana me-manage tidur tersebut?”
Entah ada dalam
kamus ilmiah atau tidak, bagiku tidur tak hanya membuat orang malas, tapi juga
mampu membuat orang berkarya. Tidur, jika benar-benar diteliti, bisa dijadikan sebagai imajinasi berkarya, misalnya melalui
lagunya Mbah surip. Bahkan, jangankan manusia yang berakal, spesies hewan semacam beruang
kutub pun mampu memanfaatkan tidur di musim dingin untuk menjaga cadangannya. Meskipun
memang banyak juga yang memanfaatkan tidur pada tempatnya banyak menjadi
malapetaka, bahkan hingga kehilangan nyawa. Faktanya, reputasi DPR bisa menurun karena tidur pada saat
sidang, produktifitas kerja menurun
karena banyak tidur di kantor, bahkan banyak sopir yang masuk jurang atau tabrakan
karena tertidur saat mengemudi.
Hal yang
kelihatan sepele semacam tidur akan mampu menjadi perubahan besar dalam sejarah, bahkan menjadi
fenomenal di dunia. Misalnya, Ali bin Abi Thalib yang menerapkan strategi tidur di kamar tidur
Rasulullah saat Rasululah hendak hijrah ke Madinah di malam hari sehingga Kafir Quraisy yang mengepung rumah Rasulullah
menyangka beliau masih tidur, pada akhirnya mereka terkecoh ketika hendak
mengepung Rasulullah karena ternyata yang tidur tersebut adalah Ali bin Abi
thalib, pemuda yang disegani mereka. Rasulullah pun berhasil hijrah lebih
dahulu. Dapat dibayangkan jika strategi tidur tersebut tidak dilakukan, tidak
mustahil jika Rasulullah terkepung, hijrah tertunda, bahkan batal, maka
kemajuan peradaban dunia sebagai hasil pasca hijrah tidak terjadi.
Di sisi lain,
tidur pun mampu menjadi polemik banyak negarawan, penuh teka teki, bahkan
banyak membuat fenomena politik kenegaraan. Sejarah mencatat, dalam banyak
sidang, kunjungan ke negara lain, atau pun dalam berdiplomasi, presiden RI ke
empat sering ketiduran di event
penting tersebut. Aneh memang jika wakil negara Indonesia kok bisa-bisanya tertidur saat tamu atau diplomat asing, salah
satunya ketika beliau bertamu ke negeri Iran. Tapi lebih aneh lagi jika setelah
beliau bangun dan menyampaikan tangapan atas nama Indonesia, beliau menangkap
gagasan lawan bicara, mampu menanggapinya secara fasikh, bahkan lebih fasikh
dibandingkan dengan menteri luar negeri Indonesia saat itu, Alwi Shihab. Semua
pihak dalam hal ini mengakui kecerdasan Gus Dur menangkap realitas yang
sesungguhnya dalam keadaan sesungguhnya, sungguh di luar kebiasaan. Fenomena-fenomena
tersebut banyak dijumpai di situs video you
tube, atau buku-buku tentang Gus Dur. Pertanyaan kedua, jika benar tidur
ala Gus Dur mampu menangkap realitas, lalu apa yang dimaksud tidur menurut dirinya? ada maqam jenis tidur, dan bagaimana tidur dipahami?
Bagi saya
sendiri, tidur ialah tempat persinggahan di sela-sela aktivitas. Meski kadang
sangat mengganggu, tidak jarang juga tidur mampu menghilangkan segala penat dan
pusing yang menyelimuti. Hanya dengan menyediakan bantal, selimut, atau tempat
PW (posisi Wenak), rasa kantuk di tengah lelah pasti datang segera. Orang
mengatakan saya tumor (tukang molor- penidur). Ejekan tersebut memang
menyakitkan, mengingat tidur identik dengan kemalasan. Tapi mengelak bukanlah
sebuah kebijaksanaan. apakah ini bagian dari gangguan kejiwaan, penyakit
keturunan, atau apa, entahlah. Sudah sejak lama gejala ini hadir menempa
aktivitas hidup. Yang jelas, aku tak dapat mengelak dari kenyataan bahwa aku
menderita gampang tidur –atau juga mungkin penyakit tidur. Di sisi lain, ejekan
tersebut tak dapat memberikan solusi bagi perjalanan. Lama waktu berselang,
ejekan malah menjadi kebiasaan dan mereka uyang bosan berkelakar dengan hal
tersebut. Mungkin juga mereka berganti
menjadi penasaran, aku tak tahu.
Mereka
berkata bahwa aku cocok menjadi anggota DPR, haa.. kenapa? Karena banyak di antara para pejabat tersebut
menjadikan tidur saat rapat sebagai pekerjaan. Lucu tapi menyakitkan, bukan?! Mereka
menghkawatirkanku kadang-kadang. Mungkin terlihat peduli. Tapi jika khawatir
tersebut karena takut aku tak sadarkan diri jika rumahku terbakar saat aku
sedang tidur, tentu bukan lelucon yang bagus. Pertanyaan terus menghantamku
hingga pertanyaan itu habis dengan sendirinya. Pada akhirnya, mereka memutar
balik pertanyaan mengejek menjadi pertanyaan konsultasi. “Bagaimana cara cepat
tidur untuk menghilangkan mumet di
kepalaku? Semalaman gak bisa tidur. Bagaimana bisa tidur di hadapan dosen di
depan kelas tanfa ditegur? Bagaimana cara belajar saat tidur di kelas?” banyak
juga rupanya pertanyaan serupa. Rasanya nyaman sekali saat tidur yang tak bisa
dihilangkan akhirnya menjadi sahabatku, identitas lainku. Aku bisa tidur tanfa
ada orang yang mengejekku, bahkan menjadikan tidur sebagai energi positif. Sungguh
menakjubkan.
Sebagai
bagian dari kemalasan, jelas aku sering terlena olehnya. Banyak tugas yang
kadang-kadang molor gara-gara tidur. Lebih
baik tidur dari pada terkantuk bekerja adalah penyakit utama, sebenarnya. Yang
terjadi selanjutnya sudah bisa diprediksi, semua pekerjaanku molor, sehingga
pekerjaan bertambah menumpuk. Menunda pekerjaan yang masih bisa dilaksanakan
saat ini adalah awal dari kekacauan aktivitas berikutnya.
Apalagi, akhir-akhir
ini disibukkan dengan banyak organisasi
ekstra kampus di sela-sela kuliah hingga larut malam. Siang terkuras tenaga,
tidur terlalu malam, bangun kesiangan. Jarang melakukan qiyamullail seperti dahulu, jarang membaca buku seperti dahulu.
Semua ruang privatku diwakafkan untuk organisasi tanfa mendisiplinkan waktu.
Rasa-rasanya ingin bisa kembali bertafakur
di saat orang-orang tertidur pulas, menuliskan semua petualanganku pada
lembaran-lembaran kertas dalam kesunyian. berat betul mensinergikan kehidupan
kuliah, organisasi daerah, organisasi ekstra dan intra kampus, lembaga kajian,
bisnis, dan menulis. Selalu ada hal yang diprioritaskan, paling tidak untuk
jangka pendek, apalagi kepepet.
Ketika
orang bertanya, sejak kapan aku suka tidur, aku jawab mungkin sejak aku
mengenalnya. Perkenalan itulah yang membuat aku bersahabat, membuat aku
menyukainya. Sejak kecil saat ibuku mengantarkan ke pesantren, ditegur Pak
Kiyai karena selalu tidur di saat mengaji adalah kebiasaan. Saat kantuk tiba,
aku pasrah menyerah untuknya. Kadang di kasur, kadang di lantai, kadang di
surau, di mesjid, di kelas, di kampus, di
bawah pohon, di sandaran tembok, di saat diskusi, di saat mengaji, di
saat curhat, bahkan pernah ketiduran di jamban. Benar-benar aku tak dapat
membuktikanya, hanya aku adalah aktor yang pernah mengalami dan merasakannya.
Entahlah.
Ada pengalaman
konyol saat dahulu masih di pesantren. Tiap mengaji, pasti tertidur. Dalam
seminggu, hampir tiap malam aku tak dapat menyimak pelajaran yang disampaikan
sang ustadz. Disindir pernah, dijahili teman-teman sering, dimarahi pernah. Aku
pernah mencoba menggunakan minyak telon yang dioleskan di bawah pelipis mata,
pernah mengoles-olehkan kulit bawang ke pipi agar perih dan terjaga, pernah
pula menggerak-gerakan sebagian badan untuk menguatkan konsentrasi, bahkan
pernah pula aku membawa gayung ke bawah meja hingga jika aku terkantuk, aku
tinggal mengusap mukaku dengan air.
Guru mengaji
kadang kebingungan hanya untuk membuat aku tidak tertidur saat mengaji. Ia
menyuruh aku berwudhu, atau mengulangi penjelasan guru, atau hal lain. Ada saja
ide-ide yang beliau lakukan untuk membangunkanku. Hal yang paling kuingat ialah
pada saat ia memukul meja untuk menggertak santri yang terkantuk agar bangun.
Setengah marah ia menyindir dengan tegas. Tentu saja aku bagian dari objek
sindirannya. Hal yang aneh adalah para santri yang malah menahan tawa di tengah
teguran pa Kiyai. Aku menengok ke kiri, ke kanan, padahal biasa saja menurutku.
Keanehan kedua adalah pada saat marah bergelantungan, tiba-tiba pak Kiyai menghentikan amarahnya. Ada apa
sebenarnya? Keganjilan tersebut terjawab saat tersentak saat aku menengok ke belakang, kusaksikan wajah Pak
Haji sepuh (pemilik pesantren tersebut) merasa salah tingkah dan kikuk, turut
menjadi objek penderitaan. Sorotan matanya penuh malu. Pasalnya, ia kebetulan
ikut mengaji, kebetulan pula sama ungguk-ungguk karena terkantuk-kantuk saat
mengaji.
Posisi duduknya dan
pecinya yang miring dan bersandar di tembok tiba-tiba ia tegakkan kembali
seperi sedia kala, seolah menutupi diri bahwa dirinya tidak terkantuk, bukan
objek penderitaan. Tak ada yang bicara, tidak pak Kiyai, tidak pula Pak haji. Saling
kikuk antara pemilik pesantren dengan pengajar cukup sudah menjadi senjataku,
bahwa selama Pak Haji ikut mengaji, selama itu pula akhirnya Pak Kiyai tak
mampu lagi menegurku. Aku menunduk penuh senyuman menyaksikan tingkah aneh
tersebut.
Ada pula pengalaman
memalukan karena tertidur adalah saat menjadi muadzin di salah satu komplek di
Bandung, ketika masih semester tiga. Seperti biasa, sebelum adzan jumat tiba,
aku menyampaikan laporan keuangan DKM dan banyak pengumuman dengan penuh
wibawa. Proseduralnya seperti biasa,
khatib naik ke mimbar, aku adzan shalat jumat, khatib menyampaikan khutbah dan
aku duduk di barisan pertama depan mimbar bersama teman muadzinku. Dengan penuh
takzim semua jamaah menyimak petuah sang khatib.
Akan tetapi
situasi menjadi aneh ketika khatib duduk di belakang mimbarnya di sela-sela
khutbahnya. Tak ada suara, tak ada obrolan. Saat itulah kami tersentak sadar.
Sejatinya sebagai seorang muadzin, aku harus iqomat pasca khutbah selesai. Yang
menjadi pertanyaan membisu ialah apakah duduknya sang khatib menandakan
berakhirnya khutbah, atau baru khutbah pertama? Kami saling pandang, saling
menggerakkan mata tanda tak faham kondisi sebenarnya. Jika memang saatnya
iqomat, maka aku berbegas untuk berdiri. Akan tatapi jika baru khutbah pertama,
apa jadinya jika aku iqomat di sela-sela khutbah pertama dan kedua. Tentu
insiden besar yang memalukan akan menyebar di seluruh warga kompleks. Begitu
juga jika aku tidak berdiri dan ternyata khutbah telah selesai, maka aku akan
kelihatan jelas sedang tertidur saat khutbah tiba.
Bertanya pada
jamaah di samping tentu bukan hal yang indah mengingat tidak boleh berbicara
pada saat khutbah berlangsung. Saling melempar tanggungjawab di antara kami
berdua pun bukan tipikal seorang muadzin yang bertanggung jawab. Aku ambil
inisiatif, dengan harapan bahwa kesunyian jamaah menandakan mereka menanti
iqomatku terlantun. Aku berdiri, dan ternyata benar..... semuanya tiba-tiba
menjadi luar biasa gaduh. Hal lucu namun naïf terjadi saat jamaah di sampingku
menarik sarungku, begitu pula khatib pun tak memberikan mikropon padaku. Adapun
jamaah yang tidur menjadi keheranan lantaran suasana yang sepi tiba-tiba
seperti pasar ikan yang gaduh, begitu pula anak-anak di luar mesjid menertawakanku.
Aku benar-benar salah ambil tindakan. Ternyata saat itu adalah duduk di antara
dua khutbah. Jika saja aku bisa menggali lubang, ingin rasanya mukaku ditaruh
sebentar saja di sana, buat sekedar tidak memperlihatkan rasa maluku pada
semua. Tapi itu bukan mimpi. Itu realita. Aku pasrah pada kenyataan, bahwa aku
memang benar-benar ketahuan sedang terkantuk-kantuk saat khutbah berlangsung.
Banyak kejadian
konyol sebenarnya. Contohnya saja ketika masih SD, aku terkantuk-kantuk, sama
juga saat menjelang shalat jumat di mesjid. Badanku tak bisa aku kendalikan
karena kesadaranku tak stabil. Ia kedepan dan ke belakang seperti bandul yang
mengayunkan diri. Karena tak kuat menjaga kestabilan badan saat duduk, badanku
tersungkur ke sejadah dan ketika itulah dentuman dari bagian bokongku keluar.
Mungkin baru pertama kali orang menyaksikan buang angin berdentum pada saat
jumatan. Benar-benar malu, dan segera ingin mendorong waktu kian cepat agar
jumatan cepat selesai dan aku cepat kabur. Pura-pura tidak bersalah, aku
langsung keluar mesjid dan berwudhu kembali.
Banyak cerita
sebenarnya tentang tidurku. Baik yang konyol, memalukan, melegakan, tidur
paling cepat, tidur paling nyenyak, tidur paling sederhana, paling cepat bangun tidur, tidur paling murah,
banyak hal. Selama belasan tahun aku mengalami gejala ini, bahkan mungkin
selama aku punya ingatan, dalam dua puluh dua tahunan ini. Aku sudah cukup
mempunyai pengalaman baik-buruk, bahkan trik sederhana untuk mengalihkan aktivitasku.
Aku bukan tipikal konsumen obat-obatan yang perlu uang mahal untuk bisa tidur. Bagiku,
biarlah tidur menjadi identitas lainku. Biarlah itu menjadi energi positif yang
aku kumpulkan untuk bergerak.
Saat tenaga
terkuras, tidurlah, maka tenaga pulih kembali untuk bergerak lebih cepat
dibanding orang lain. Saat pusing, tidurlah. Pe-er saat ini adalah bagaimana
tetap bertahan di luar zona aman, terutama masalah tidur. Indah rasanya jika
tidur nyenyak di waktu lelah, kemudian bangun di saat orang-orang tertidur
lelap. Di sanalah indahnya saat terjaga. Eksplorasi wacana, eksplorasi
mimpi-mimpi, munajat, tafakur, bahkan berevaluasi dan bermimpi. Menyaksikan
fajar tiba dengan mengayunkan kaki ke mesjid bersama-sama adalah kerinduan.
Meminum kopi hangat sambil mempersiapkan meja kerja, kuliah, organisasi,
ekonomi, tulisan. Merajut S2 dengan beasiswa, menggerakan basis pemuda dengan
karya, dan menjadi penyambung antar peradaban lewat tinta adalah impian yang
harus istiqomah dialankan.
Mungkin bagi
orang lain terlalu tamak untuk meraup berbagai kegiatan, tidak fokus, tidak
totalitas, tidak akan menghasilkan kualitas optimal. Boleh-boleh saja, hanya
bagiku, diam di tengah pertarungan adalah bunuh diri dan tergerus ketinggalan
zaman. Benar jika tubuhku kian kerempeng karena pola makan dan pola tidurku tak
seimbang, ototku mengerut dihabiskan aktivitas. Tapi apakah ada cara lain untuk
mempercepat menuju sukses. Benar bahwa sukses bukanlah kuantitas, tapi ia
adalah kualitas. Artinya, bukan karena banyak sedikitnya komunitas, bukan
karena banyak sedikitnya aktivitas, tapi bagaimana menciptakan waktu kian
produktif di tengah-tengak kompleksitas. Totalitas bukan menafikan aktifitas
lain, tapi ia adalah mengoptimalkan produktifitas sesuai dengan prioritas. Di
tengah pergumulan tersebut, tidur adalah teman yang menenangkan kekalutanku...
aku masih percaya, tidur adalah anugerah yang Tuhan berikan untuk menemani
perjalanan dan misi besarku.
Iji Jaelani....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar