BIOGRAFI K.H. ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
Pemikiran politik Abdurrahman Wahid sebagai hasil
pencarian berbagai dinamika kehidupan yang ia alami akan lebih mudah dianalisa
melalui teori pendekatan prilaku. Meskipun pendekatan ini bukan satu-satunya
pendekatan yang akurat dalam mebongkar pemikiran politik, akar pemikirannya,
serta dinamika pemikiran politik tersebut, namun jika latar belakang serta
kehidupan pribadinya tidak dianalisa secara intens, penelitian terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid akan bias dalam mencari essensi pemikirannya. Faktanya, tulisan-tulisan pemikiran yang termuat
di berbagai media, beserta orasi ilmiah yang bergaya parhessia ( konsep Foucalt tentang
dekonstruksi terhadap wacana utama)[1] banyak menimbulkan
kontroversi dan berseberangan dengan pandangan khalayak sehingga perlu
dianalisis nomena di balik berbagai fenomena tersebut.
Metodologi ini menganalisa pemikiran politik
ditinjau dari pendekatan ideologis, pendekatan sosiologis, pendekatan
psikologis, maupun pendekatan rasional. Tentunya, menganalisa keempat
pendekatan tersebut hanya mampu diantisipasi jika perjalanan hidup beliau
dianalisa, termasuk juga di dalamnya lingkungan keluarga, lingkungan sosial,
faktor genetik dan psikologis, maupun pengalaman pribadi yang membentuk karakter
pemikiran politiknya.
Untuk
mensistematisasi pembahasan biografi Gus Dur, penulis susun menjadi 4 bagian,
yakni masa internalisasi pemikiran (masa kecil, remaja, dan pendidikan luar negeri), karir awal, keterlibatan
dengan NU, politik praktis ( politik oposisi, menjadi presiden, dan aktivitas
pasca kepresidenan).
1.
Internalisasi pemikiran
a.
Kecil dan remaja
Abdurrahman Wahid lahir di
Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940. Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4
dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari
pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal
4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya
adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7
September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman
Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk". Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid sebagai
anak pertama diharapkan menjadi pewaris
budaya keluarga Hasyim Asyari, menjadi penakluk seperti halnya Sultan
Abdurrahman Addakhil (Abdurrahman I) yang pernah berkuasa selama 32 tahun pada
Dinasti Bani Umayah, Spanyol. Kata "Addakhil" yang tidak cukup
dikenal pada akhirnya diganti menjadi "Wahid", dan kemudian lebih dikenal
dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas
pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau
"mas".[2]
Gus Dur adalah putra pertama dari
enam bersaudara. Secara genetik, Wahid lahir dari keturunan ningrat dalam
komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari,
pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri
Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada
perempuan, sekaligus merupakan Rais ‘Aam PBNU setelah K.H.
Abdul Wahab Hasbullah. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim,
terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya,
Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Pada tahun 1944, K.H.
Hasyim terpilih sebagai ketua Masyumi, organisasi yang berdiri dengan bantuan
Jepang. Melihat kesibukan aktivitasnya, ia pindah ke Menteng,
Jakarta Pusat
karena dipandang strategis sebagai pusat kegiatan perjuangan Indonesia. Secara
otomatis, kondisi tersebut membuat Abdurrahman wahid sering bertemu dengan tokoh
perjuangan seperti M. Hatta dan Tan Malaka.
Setelah Jepang menyerah tanfa syarat kepada Sekutu pada tahun 1945, Wahid Hasyim
beserta Abdurrahman wahid kembali ke Jombang, tepatnya di Pesantren tambak
Beras. Pada Selama masa revolusi fisik tersebut terjadi, Wahid Hasyim
disibukkan sebagai penasehat Jenderal soedirman, sementara Gus Dur menikmati
hidup di lingkungan pesantren secara menyenangkan, bahkan telah lancer membaca
Al quran dalam usia lima tahun.
Pada
Desember 1949 ketika perang selesai, Abdurrahman wahid pindah kembali ke
Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai menteri agama. Kehidupan kosmopolit tersebut membuat Gus Dur
tinggal di hotel Des Indes Menteng, sekolah di SD Kris sebelum
pindah ke SD Matraman Perwari, mulai bersinggungan
dengan bahan bacaan non muslim, majalah dan koran, tokoh-tokoh pergerakan,
sepak bola, bahkan budaya Eropa,
terutama music klasik dan bahasa Belanda. Bahkan, symphony karya Beethoven
merupakan music pertama yang membuatnya tertarik. Menurut Munawwar Ahmad, Gus
Dur tumbuh menjadi anak yang subur, tidak bsa ditekan, dan sering menunjukkan
kenakalannya, contohnya ia pernah diikat pada tiang bendera karena lelucon dan
sikapnya yang kurang sopan.[3] Selain itu, Gus Dur pernah
memenangkan lomba karya tulis se-wilayah
kota Jakarta menjelang kelulusan Sekolah Dasar yang kelak mengantarkannya pada
penulis kritis yang berpengaruh.
Bagi
Gus dur yang saat itu berusia 13 tahun, tahun 1953 merupakan tahun kesedihan
yang membuat dirinya terpukul menyisakan kenangan pada tahun-tahun berikutnya.
Kiai Wahid hasyim meninggal dunia akibat
kecelakaan saat ia bersama Gus Dur dan Argo Sucipto beserta sopirnya akan
menghadiri pertemuan NU di Sumedang. Kejadian tersebut bermula saat hujan lebat
di Cimahi menuju Bandung, mobil tidak dapat dikendalikan karena mobil dipacu
cepat sementara jalanan. Bagian belakang mobil menabrak truk yang sedang
berhenti dan mengakibatkan tabrakan keras shingga Agro Sucipto dan Wahid Hasyim
terhempas keluar, sementara Gus Dur dan sopir tidak terluka. Sekitar sepuluh jam kemudian Wahid Hasyim
meninggal dunia di RS Hassan sadikin, bandung, diikuti Argo Sucipto beberapa
jam kemudian.
Gus
Dur menyadari bahwa ayahnya adalah orang berpengaruh di Indonesia. Ketika
pulang bersama jenazah, ia menyaksikan betapa banyaknya orang berbaris di ti
tepi jalan sebagai penghormatan terakhir untuk ayahnya. Di setiap kota yang
dilalui tampak orang orang turut berduka cita. Kesadaran mengenai betapa
berpengaruhnya wibawa ayahnya di mata rakyatnya dijelaskan Greg Barton dalam
perenungan Gus dur “apa yang mungkin dilakukan oleh seorang manusia sehingga
rakyat sangat mencintainya”.[4]
Pada
tahun 1954, Gus Dur memasuki SMEP di Growongan sambil mondok di pesantren
Karapyak, pada tahun itu juga Gus Dur tidak naik kelas. Di sekolah tersebut Gus Dur mulai bersentuhan
dan mendalami bahasa Inggris hingga mampu membaca karya-karya tokoh dunia dalam
versi Bahasa Inggris. Di antara buku-buku
yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan
William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya
Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis
Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov.
Gus Dur juga
membaca tuntas beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of
Civilazation’. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk
meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus
Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika
mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, seorang guru SMEP yang
juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ .
Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal
Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya.[5]
Setamatnya
dari SMEP pada 1957, Gus Dur meneruskan pendidikannya di pesantren Tegalrejo,
magelang, di bawah asuhan K.H. Chudhari, sosok kiai yang dikenal humanis. Di
pesantren ini pulalah Gus Dur mengenal ritus-ritus sufi mempraktekkan ritual
mistik. Pada saat ini pula Gus Dur
telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Ia pun
mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat karena menempuh pendidikan hanya
dua tahun, padahal pendidikan biasanya selesai ditempuh dalam waktu empat
tahun.
Pada tahun 1959, Gus dur pindah kembali ke Jombang dan tinggal di pesantren tambak beras pesantren.
Menjelang usia 20 tahun, Gus Dur menjadi
ustadz dan kepala madrasah. Ia pun anktif menjadi jurnalis
di majalah Horison dan majalah Budaya
Jaya. Pada usia 22
tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, kemudian
dilanjutkan dengan menempuh pendidikan Al Azhar melalui beasiswa Departemen
Agama.
b.
Pendidikan luar negeri
Berkat beasiswa
depag, pada November 1963 Gus Dur
melanjutkan studi ke Kairo. Akan
tetapi, kekecewaan terjadi pada tahun pertama karena dirinya harus melakukan
remidial (semacam kelas persiapan) yang
membosankan karena harus mengulang mata pelajaran yang pernah ditempuh di Indonesia.
Hal ini dikarenakan ia tidak mampu membawa alat bukti bahwa dirinya mahir
berbahasa Arab. Untuk menghilangkan
kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi
Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang
dikehendaki.
Selain
mengunjungi perpustakaan, tahun 1964 sudah banyak menikmati hidupnya
dengan menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton sepak
bola. Ia juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar
Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia
berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam
dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kembali kecewa karena
dirinya telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan
menolak metode belajar yang digunakan Universitas.
Pada tahun tersebut, terdapat banyak hal baru yang
terjadi. Pertama, ia bekerja di kedutaan besar indonesia. Kedua, Indonesia
sedang mengalami Insiden G30 SPKI dan ia
diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar
Indonesia di universitas Al
Azhar dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Dampak
rezim ini membuat dirinya terganggu. Pada tahun 1966, ia diberitahu
bahwa ia harus mengulang belajar.
Sebagai respon kegagalannya, Gus Dur pindah ke Irak
melalui beasiswa di Universitas Baghdad, masuk
dalam Departement of Religion samapi tahun 1970. Pada waktu yang sama ia kembali
bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali
menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di
Universitas, serta meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga
menulis majalah asosiasi tersebut.
Di luar kampus,Gus
Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul
Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran
Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh
jamaah NU. Di sini pula lah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.
Setelah tamat dari universitas tersebut, Gus Dur
pergi ke Universitas Leiden, belanda untuk melanjutkan pendidikan pasca
sarjana. Akan tetapi, persyaratan yang
ketat, terutama dalam bidang bahasa -misalnya untuk
masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau
Latin dengan baik di samping bahasa Jerman- tidak dapat
dipenuhinya, hal yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi
pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia
menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim
Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Dari
Belanda, Wahid pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun
1971.Untuk biaya hidup di rantau,
dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal
tanker. Gus Dur juga sempat
pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman
secara mendalam. Namun, akhirnya perjalanan studinya berakhir setelah
terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.
2.
Karir awal
Karir awal Gus Dur adalah bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES),
organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial
demokrat. Di lembaga tersebut, ia bersama
Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono banyak melakukan proyek
pengembangan pesantren. Kemudian, Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh
LP3ES.
LP3ES sendiri
mendirikan majalah yang disebut Prisma dan Wahid menjadi
salah satu kontributor utama majalah tersebut. Ia pun
berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa,
merasa prihatin dengan kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional
pesantren luntur akibat pesantren memaksakan diri mengadopsi kurikulum
pemerintah untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah. Hal ini pun diperparah
oleh kemiskinan pesantren pada masa itu.
Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya
sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Ia pun
menjadi seorang guru di Jombang.
Pada tahun 1971, Gus Dur
pun bergabung di Fakultas Ushuludin
Universitas Tebu Ireng Jombang. Dari sini Gus Dur mulai sering
mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan
dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Adapun pada tahun 1974, ia menjadi sekretaris Pesantren
Tebu Ireng. Satu tahun kemudian, Wahid menambah pekerjaannya
dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada 1977, Ia bergabung dengan Universitas
Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam, dengan
mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi. Sementara pada 1979, ia pindak ke Jakarta dengan
mendirikan pesantren Ciganjur.
3.
Terlibat dengan NU
Pada tahun 1980, karier Gus Dur semakin melesat setelah ia dipercaya
menjadi wakil katib syuriyah PBNU setelah sebelumnya menolak bergabung dengan
struktural NU karena lebih memilih menjadi intelektual publik. Budaya
kritis-progressifnya membuat Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan
yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan
lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur pun semakin serius menulis dan
bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun
pemikiran keislaman. Contoh hal
yang kontroversial selaku seorang tokoh ulama sekaligus pengurus PBNU adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada
tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI)
tahun 1986, 1987.
Bagi Gus Dur, pengalaman pertama
bersinggungan dengan politik praktis ialah pada saat ia berkampanye
untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahuin 1982. Prilaku
tersebut ditanggapi rezim orde baru yang otoritarian dan militeristik adala
dengan sebuah penangkapan atas dirinya, namun dikeluarkan kembali karena ia
mempunyai kedekatan dengan jendreal Beni Moerdani.
1.
Reformasi NU
Kiprah pertama Gus Dur di PBNU adalah menjadi tim tujuh untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Hal ini dikarenakan NU dipandang sebagai organisasi
masyarakat yang statis. Moment lain bagi prestasi Gus dur ialah pada saat
petinggi NU berharap Idham Chalid mundur dari posisinya sebagai ketua PBNU,
empat hari berikutnya Gus Dur datang menemui ketua PBNU tersebut dan mengatakan bahwa kemunduran dirinya
tersebut inkonstitusional. Gus dur bersama tim tujuh akhirnya mampu
menegosiasikan kemundurannya hingga konstelasi politik elit NU tetap pada relnya.
Berkaitan dengan ideologi negara yang saat itu menjadi perdebatan sengit
yang berkepanjangan sejak kemerdekaan Indonesia, Soeharto mengeluarkan
keputusan untuk menjadikan pancasila sebagai asa tunggal Indonesia. Alasan
normatifnya adalah menghilangkan perdebatan yang mengganggu stabilitas politik
negara. Akan tetapi, secara politis, gagasan tersebut muncul untuk
menghegemonisasi berbagai aliran yang berkembang sehingga mampu ia pantau dan
kendalikan melalui asa tunggal tersebut. Peristiwa ini terjadi pada 1983,
setelah ia dipilih kembali oleh MPR. Kebijakan ini membuat Gus Dur
menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon terhadap
kebijakan tersebut Juni hingga Oktober 1983. Melalui epistimologi ahlussunnah wal jamaah
yang menjadi pegangan bahsul masail tersebut, akhirnya kelompok tersebut
menyatakan NU harus menerima pancasila sebagai ideologi negara. Dengan
pernyataan tersebut, Nu menjadi organisasi masyarakat pertama yang menyatakan
penerimaannya terhadap pancasila, sekaligus menjadi bukti sikap tawasuth yang
dimiliki NU, termasuk Gus Dur. Adapun pada tahun itu juga, Gus Dur menyatakan
keluar dari PPP dan berfokus kepada Nu, begitu pula Nu, keluar dari partai
politik dan berfokus pada sosial kemasyarakatan yang lebih luas.
2.
Manuver Ketua PBNU
Reformasi-reformasi yang
dilakukan Gus Dur terhadap Nu semakin membuat prestasi dan popularitasnya naik
di kalangan elit Nu. Hal ini terbukti pada Munas 1984, banyak kalangan elit NU
yang menominasikan Gus Dur menjadi ketua
PBNU. Melalui aklamasi oleh sebuah
tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin, Gus Dur terpilih
untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Terpilihnya Gus Dur
dilihat positif oleh Suharto. Hal ini dibuktikan dengan penunjukkan Gus dur oleh soeharto sebagai indoktrinator Pancasila pada tahun 1985. Pada tahun 1987, manuver Gus Dur ditunjukkan dengan dukungan lebih lanjut terhadap rezim. Manuver tersebut sangat
kontroversial karena mengkritik PPP dalam pemilihan umum
legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Suharto. Lebih
lanjut lagi, sikapnya yang dinilai kontroversial adalah dirinya menjadi anggota MPR mewakili Golkar.
Meskipun demikian disukai rezim penguasa Orde Baru,
ia pun mampu mengkritik pemerintah karena pembangunan waduk omb didanai bank
dunia. Selama msa jabatannya sebagai ketua PBNU ini, Gus Dur konsen dalam
mereformasi sistem pendidikan pesantren dan meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat
menandingi sekolah sekular.Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok
belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian
dalam NU untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim yang
sering ditafsirkan secara tekstual. Dalam hal ini, fenomena kontroversial yang
ia lontarkan salah satunya adalah Gus Dur pernah mengharapkan
mengubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekular
"selamat pagi".
4.
Politik praktis
a.
Politik
Oposisi
Politik oposisi yang paling tampak
Gus Dur lakukan ialah pada saat ia kembali terpilih menjadi ketua PBNU
pada Musyawarah nasional NU tahun 1989. Ia dikenal kritis terhadap pemerintah.
Kontradiksi Soeharto dengan kaum Islam tradisionalis yang dipimpin Gus Dur
beserta keterlibatannya dalam konflik dengan ABRI yang menjadi basis kekuatan
Soeharto sendiri, ia mulai mencari anti tesis dengan cara menarik simpati muslim puritan, komunitas
yang dahulu dijauhi Soeharto. Cara yang ia tempuh adalah dengan mendirikan ICMI pada 1990, serta BJ.
Habibi sebagai ketuanya.
Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Akan
tetapi, Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung
sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat. Pada tahun 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri
dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini
diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan
oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan ulang tahun NU ke-66
dengan mengadakan Rapat Akbar nu ke 66 dihadiri sekitar
1 juta muslim, dengan bertemakan
melakukan dukungan kembali kepada pancasila. Sejatinya, secara ideologis NU telah menyatakan
sejak delapan tahun yang lalu untuk menerima asas pancasila. Jika pernyataan
ini tidak dikolerasikan dengan konstelasi politik saat itu, tentu hal ini
menjadi sebuah paradok. Lebih ironi lagi adalah pada saat Soeharto menghalang halangi agenda tersebut dengan mendatangkan polisi untuk
mengusir bus yang membawa peserta rapat akbar setibanya di Jakarta, padahal
dirinya adalah penegak pancasila sebagai asas tunggal Negara. Ekses dari sabotase tersebut, Gus dur memberi surat protes kepada soeharto menyatakan NU tidak diberi kesempatan
untuk menampilkan islam yang terbuka, adil, dan toleran. Selama
masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, gagasan-gagasan progressifnya
banyak membuat otokritik dan antipati dari internal NU sendiri, meskipun tidak
sedikit pula yang bersimpati kepada gagasan-gagasan ijtihadnya. Sebagai ketua, Gus Dur pun terus
mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel
pada Oktober 1994.
Adapun menjelang munas NU pada 1994, Gus Dur
menominasikan dirinya kembali sebagai calon ketua PBNU untuk ketiga kalinya. Dalam hal ini, Soeharto
tidak menyetujuinya dan mengirimkan Habibi dan Harmoko untuk berkampanye
melawan terpilihnya kembali Gus Dur pada minggu-minggu menjelang munas. Pada
pelaksanaannya, ABRI menjaga ketat proses pelaksanaan munas, selain membagikan
uang kepada anggota NU untuk tidak
memilihnya. Akan tetapi, Gus Dur tetap terpilih menjadi ketua PBNU.
Pada
masa kepemimpinannya yang ketiga, Gus Dur mulai melakukan aliansi dengan
Megawati dari PDI yang pada waktu itu
sama-sama menjadi oposisi. Megawati sendiri, dengan
popularitasnya yang tinggi sebagai
oposisi, tetap berusaha menekan rezim soeharto. Sikap Gus Dur untuk menasehati Megawati agar berhati-hati dengan
Soeharto dan berusaha untuk menolak dipilih menjadi presiden pada sidang umum 1998 diacuhkan Megawati. Sikap Megawati tersebut
dinilai untuk melakukan balasan atas markas PDI nya yang diambil alih para pendukung PDI yang didukung pemerintah,
Soerjadi.
Menanggapi sikap Megawati tersebut, Gus Dur memilih
untuk mundur secara politik dengan merapat terhadap Soeharto. Manuver ini bisa dinilai paradoks dan kadang
sering menimbulkan multi tafsir, bahkan bagi sebagian kalangan dinilai
oportunis. Pada November 1996, Gus Dur mulai bertemu
dengan Soeharto sejak keterpilihannya pada munas 1994 serta bertemu dengan
orang-orang yang dulu berusaha menghalanginya pada pemilihan ketua PBNU 1994.
Di samping itu, Gus Dur tetap melakukan reformasi secara terbuka dengan cara
melakukan pertemuan dengan Amin Rais, ketua ICMI yang kritis terhadap pemerintah.
Pada
1997, Krisis moneter Asia melanda Indonesia. Soeharto mulai kehilangan kendali dalam mengendalikan krisis
tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi bersama Amin Rais dan
Megawati, namun Gus Dur terkena stroke. Dari rumah sakit, Gus Dur melihat
situasi Indonesia makin memburuk dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden,
serta terjadinya aksi protes besar-besaran mahasiswa yang menyebabkan kerusuhan
dan penembakan 6 orang mahasiswa Tri sakti. Anarkisme tersebut membuat Soeharto mengundang Gus
Due beserta 8 orang tokoh dari berbagai komunitas untuk menghadap ke kediaman
Soeharto dan memberikan konsep komite reformasi.
Akan
tetapi, Sembilan tokoh tersebut menolak usulan bergabung dengan komite
reformasi. Sikap kemoderatan Gus Dur untuk menghentikan
demonstrasi besar-besaran mulai dikritik Amin Rais. Pledoi Gus Dur atas pernyataan tersebuat
adalah mencegah pertumpahan darah antara ABRI dan mahasiswa
serta melihat apakah soeharto akan menepati janjinya atau tidak. Sementara, bagi Amin Rais, demonstrasi harus terus
dijalankan untuk melakukan pressure dalam menumbangkan rezim otoritarianisme
Soeharto. Pada akhirnya, Soeharto mengumumkan
pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. BJ Habibi yang pada waktu itu sebagai
wakil presiden otomatis naik menjadi presiden, menggantikan Soeharto.
b.
Menjadi Presiden
Perubahan peta politik pasca kejatuhan Soeharto
ialah bermunculannya partai-partai
politik baru. Di antara partai baru tersebut ialah PAN yang dipimpin Amin Rais,
PDI Perjuangan yang dibentuk Megawati, serta PKB yang
dibentuk Gus dur sendiri. Banyak pihak yang menyayangkan Gus Dur harus terjun
ke partai politik, akan tetapi Bagi Gus Dur yang didesak komunitas NU,
beralasan bahwa mendirikan partai politik merupakan
satu-satunya cara untuk melawan Golkar pada sidang umum. Gus Dur bersama Amin Rais, Megawati, dan
Sultan Hamengkubuwono X melakukan pertemuan di Ciganjur untuk meneruskan agenda
reformasinya.
Adapun
konstelasi politik menjelang pemilihan presiden pada 1999, menurut Greg barton
adalah sebagai berikut.
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena
pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33%
suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan
pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas
penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais
membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai
menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan
komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi
menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR
menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan
presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20
Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru.
Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373
suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan
pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati
harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk
tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung
Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21
Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan
mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.[6]
c.
Menjadi Presiden ke-4
Kabinet pertama Gus Dur
bernama Kabinet Persatuan Nasional, yaitu kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB,
Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Begiru pula Non-partisan
dan TNI juga ada dalam kabinet tersebut. Dua agenda gus Dur dalam reformasi
adalah pembubaran departemen penerangan sebagai media pemerintah yang selalu
menghegemoni media, beserta membubarkan departemen sosial yang korup.
Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara
anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah
itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina. Adapun
dalam menghadapi disintegrasi kedaulatan negara dan berbagai potensi konflik
yang sedang berkecamuk, Gus melakukan pendekatan-pendekatan Lunak. Bagi
separatis Aceh yang menginginkan pemisahan diri dari Indonesia, Gus Dur memberikan referendum kepada Aceh untuk
melakukan otonomi khusus kepada Aceh, sehingga
gerakan separatis tersebut bisa selesai dengan jalan damai. Ia pun
melakukan pendekatan lebih dengan mengurang jumlah
personil militer di Aceh. Sementara pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Papua yang sedang berkecamuk konflik dan berhasil meyakinkan rakyat papua untuk menggunakan nama tersebut
sebagai pengganti Irian Jaya sehingga papua bisa tetap pada
posisinya sebagai bagian dari NKRI.
pada Januari 2000, Gus Dur
melakukan kunjungan kepada Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia, serta
Arab Saudi pada perjalanan pulang. Pada
Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan
mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan
pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan
Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan
April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk
menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong.
Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis
dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar
negara-negara yang dikunjunginya.
Hal yang
menghebohkan adalah pada saat
perjalanannya ke Eropa, Gus Dur meminta Wiranto mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai menko polkam. Gus Dur melihat Wiranto sebagai penghalang
agenda reformasi militernya, serta tuduhan pelanggaran HAM nya di Timor Timur.
Sekembalinya ke Jakarta,
Wiranto berhasil meyakinkan Gus Dur untuk tidak menggantikan posisinya. Akan
tetapi, beberapa waktu kemudian Gus Dur kembali pada pendirian awal untuk
memecatnya. Pada April 2000, Gus Dur pun memecat menteri perindustrian
dan perdagangan Jusuf Kalla, serta menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi.
Pemecatan ini otomatis merenggangkan hubungannya dengan Golkar dan PDI
Perjuangan.
Pada Maret 2000, pemerintahan
Gus Dur mulai bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan
kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM. Gus
Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang
Marxisme-Leninisme dicabut. Padahal, TAP tersebut merupakan hal yang tabu untuk diotak-atik mengingat
tragedi G 30 SPKI yang diklaim Soeharto berasal dari pemikiran Marxis-leninis. Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel
sehingga membuat kemarahan banyak muslim di Indonesia.
Kaitannya
dengan afiliasi militer terhadap politik yang terjadi selama masa Orde baru,
Gus Dur menjadi tokoh pertama yang berhasil mereformasi
militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik. Dalam usaha mereformasi militer
dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu,
yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada
bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma
Putra, yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota
TNI mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan
tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali
harus menurut pada tekanan tersebut.
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika
Laskar Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar
Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik dengan orang
Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad dengan
alasan konfrontasi tersebut tidak akan menyekesaikan permasalahan SARA tersebut, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh
senjata TNI.
pada tahun 2000, muncul skandal
Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian menjatuhkannya. Pada
bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa $4 juta menghilang
dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia
dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat
dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2
juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei
untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana
tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus
Dur masih tinggi. Sekutu Wahid seperti Megawati, Akbar dan Amien masih
mendukungnya meskipun terjadi berbagai skandal dan pencopotan menteri. Pada
Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato,
Wahid menyadari kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan
sebagian tugas. Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas
tersebut.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer
di Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada
bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur
memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah
bendera Indonesia. Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24
Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan
delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik
yang kecewa dengan Abdurrahman Wahid. Pada akhir November, 151 DPR
menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun
Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan
pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.
Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada
27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam
anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi.
Pertempuan tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu
untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya
Sidang Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi
dengan melawan disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar
Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan
berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan
diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya
ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati
mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inagurasi penggantian menteri. Pada
30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa
MPR pada 1 Agustus.
Gus Dur mulai putus asa dan
meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam)
Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak
dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya
dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2009.
TNI menurunkan 40.000 tentara di
Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai
bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan
dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke
tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3)
membekukan Partai Golkar.
Namun dekrit tersebut tidak
memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan
menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Abdurrahman Wahid terus
bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama
beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat
karena masalah kesehatan.
[1] Pembahasan parhessia
mengenai pemikiran Gus Dur dibahas lebih mendalam dalam Ijtihad Politik Gus Dur, Munawar Ahmad, Hal. 5.
[2] Ibid, hal. 73
[3] Ibid, hal 75
[4] Barton, Biografi Gus dur, hal. 44
[5] http://www.mrwindu.com/2012/01/buografi-lengkap-gus-dur.html,
diakses pada 26 Juli 2012
[6] Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid, pada 23 Agustus
2012, pukul 21.43 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar