Kamis, 25 April 2013

kolom tokoh

 BIOGRAFI K.H. ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)

Pemikiran politik Abdurrahman Wahid sebagai hasil pencarian berbagai dinamika kehidupan yang ia alami akan lebih mudah dianalisa melalui teori pendekatan prilaku. Meskipun pendekatan ini bukan satu-satunya pendekatan yang akurat dalam mebongkar pemikiran politik, akar pemikirannya, serta dinamika pemikiran politik tersebut, namun jika latar belakang serta kehidupan pribadinya tidak dianalisa secara intens, penelitian terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid akan bias dalam mencari essensi pemikirannya. Faktanya, tulisan-tulisan pemikiran yang termuat di berbagai media, beserta orasi ilmiah yang bergaya parhessia ( konsep Foucalt tentang dekonstruksi terhadap wacana utama)[1] banyak menimbulkan kontroversi dan berseberangan dengan pandangan khalayak sehingga perlu dianalisis nomena di balik berbagai fenomena tersebut.

Metodologi ini menganalisa pemikiran politik ditinjau dari pendekatan ideologis, pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, maupun pendekatan rasional. Tentunya, menganalisa keempat pendekatan tersebut hanya mampu diantisipasi jika perjalanan hidup beliau dianalisa, termasuk juga di dalamnya lingkungan keluarga, lingkungan sosial, faktor genetik dan psikologis, maupun pengalaman pribadi yang membentuk karakter pemikiran politiknya.
                   Untuk mensistematisasi pembahasan biografi Gus Dur, penulis susun menjadi 4 bagian, yakni masa internalisasi pemikiran (masa kecil, remaja, dan pendidikan luar negeri), karir awal, keterlibatan dengan NU, politik praktis ( politik oposisi, menjadi presiden, dan aktivitas pasca kepresidenan).
1.      Internalisasi pemikiran
a.      Kecil dan remaja
Abdurrahman Wahid lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940. Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk".  Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid sebagai anak pertama diharapkan  menjadi pewaris budaya keluarga Hasyim Asyari, menjadi penakluk seperti halnya Sultan Abdurrahman Addakhil (Abdurrahman I) yang pernah berkuasa selama 32 tahun pada Dinasti Bani Umayah, Spanyol. Kata "Addakhil" yang tidak cukup dikenal pada akhirnya diganti menjadi  "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".[2]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Secara genetik, Wahid lahir dari keturunan ningrat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan, sekaligus merupakan Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Pada tahun 1944, K.H. Hasyim terpilih sebagai ketua Masyumi, organisasi yang berdiri dengan bantuan Jepang. Melihat kesibukan aktivitasnya, ia  pindah ke Menteng, Jakarta Pusat karena dipandang strategis sebagai pusat kegiatan perjuangan Indonesia. Secara otomatis, kondisi tersebut membuat Abdurrahman wahid sering bertemu dengan tokoh perjuangan seperti M. Hatta dan Tan Malaka.  Setelah Jepang menyerah tanfa syarat kepada Sekutu pada tahun 1945, Wahid Hasyim beserta Abdurrahman wahid kembali ke Jombang, tepatnya di Pesantren tambak Beras. Pada Selama masa revolusi fisik tersebut terjadi, Wahid Hasyim disibukkan sebagai penasehat Jenderal soedirman, sementara Gus Dur menikmati hidup di lingkungan pesantren secara menyenangkan, bahkan telah lancer membaca Al quran dalam usia lima tahun.
     Pada Desember 1949 ketika perang selesai, Abdurrahman wahid pindah kembali ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai menteri agama.  Kehidupan kosmopolit tersebut membuat Gus Dur tinggal di hotel Des Indes Menteng, sekolah di SD Kris sebelum pindah ke SD Matraman Perwari, mulai bersinggungan dengan bahan bacaan non muslim, majalah dan koran, tokoh-tokoh pergerakan, sepak bola,  bahkan budaya Eropa, terutama music klasik dan bahasa Belanda. Bahkan, symphony karya Beethoven merupakan music pertama yang membuatnya tertarik. Menurut Munawwar Ahmad, Gus Dur tumbuh menjadi anak yang subur, tidak bsa ditekan, dan sering menunjukkan kenakalannya, contohnya ia pernah diikat pada tiang bendera karena lelucon dan sikapnya yang kurang sopan.[3] Selain itu, Gus Dur pernah memenangkan  lomba karya tulis se-wilayah kota Jakarta menjelang kelulusan Sekolah Dasar yang kelak mengantarkannya pada penulis kritis yang berpengaruh.
     Bagi Gus dur yang saat itu berusia 13 tahun, tahun 1953 merupakan tahun kesedihan yang membuat dirinya terpukul menyisakan kenangan pada tahun-tahun berikutnya. Kiai Wahid hasyim  meninggal dunia akibat kecelakaan saat ia bersama Gus Dur dan Argo Sucipto beserta sopirnya akan menghadiri pertemuan NU di Sumedang. Kejadian tersebut bermula saat hujan lebat di Cimahi menuju Bandung, mobil tidak dapat dikendalikan karena mobil dipacu cepat sementara jalanan. Bagian belakang mobil menabrak truk yang sedang berhenti dan mengakibatkan tabrakan keras shingga Agro Sucipto dan Wahid Hasyim terhempas keluar, sementara Gus Dur dan sopir tidak terluka.  Sekitar sepuluh jam kemudian Wahid Hasyim meninggal dunia di RS Hassan sadikin, bandung, diikuti Argo Sucipto beberapa jam kemudian.
     Gus Dur menyadari bahwa ayahnya adalah orang berpengaruh di Indonesia. Ketika pulang bersama jenazah, ia menyaksikan betapa banyaknya orang berbaris di ti tepi jalan sebagai penghormatan terakhir untuk ayahnya. Di setiap kota yang dilalui tampak orang orang turut berduka cita. Kesadaran mengenai betapa berpengaruhnya wibawa ayahnya di mata rakyatnya dijelaskan Greg Barton dalam perenungan Gus dur “apa yang mungkin dilakukan oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya”.[4]
     Pada tahun 1954, Gus Dur memasuki SMEP di Growongan sambil mondok di pesantren Karapyak, pada tahun itu juga Gus Dur tidak naik kelas.  Di sekolah tersebut Gus Dur mulai bersentuhan dan mendalami bahasa Inggris hingga mampu membaca karya-karya tokoh dunia dalam versi Bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov.
Gus Dur juga membaca tuntas beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya.[5]
     Setamatnya dari SMEP pada 1957, Gus Dur meneruskan pendidikannya di pesantren Tegalrejo, magelang, di bawah asuhan K.H. Chudhari, sosok kiai yang dikenal humanis. Di pesantren ini pulalah Gus Dur mengenal ritus-ritus sufi mempraktekkan ritual mistik. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Ia pun mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat karena menempuh pendidikan hanya dua tahun, padahal pendidikan biasanya selesai ditempuh dalam waktu empat tahun.
Pada tahun 1959, Gus dur  pindah kembali ke Jombang dan tinggal di pesantren tambak beras pesantren. Menjelang usia 20 tahun, Gus Dur  menjadi ustadz dan kepala madrasah. Ia pun anktif menjadi jurnalis di majalah Horison dan majalah Budaya Jaya. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, kemudian dilanjutkan dengan menempuh pendidikan Al Azhar melalui beasiswa Departemen Agama.
b.      Pendidikan luar negeri
Berkat beasiswa depag, pada November 1963 Gus Dur  melanjutkan studi  ke Kairo. Akan tetapi, kekecewaan terjadi pada tahun pertama karena dirinya harus melakukan remidial  (semacam kelas persiapan) yang membosankan karena harus mengulang mata pelajaran yang pernah ditempuh di Indonesia. Hal ini dikarenakan ia tidak mampu membawa alat bukti bahwa dirinya mahir berbahasa Arab. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Selain mengunjungi perpustakaan, tahun 1964  sudah banyak menikmati hidupnya dengan menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton sepak bola. Ia juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kembali kecewa karena dirinya telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas.
Pada tahun tersebut, terdapat banyak hal baru yang terjadi. Pertama, ia bekerja di kedutaan besar indonesia. Kedua, Indonesia sedang mengalami Insiden G30 SPKI dan ia  diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar Indonesia di universitas Al Azhar dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Dampak rezim ini membuat dirinya terganggu. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar.
Sebagai respon kegagalannya, Gus Dur pindah ke Irak melalui beasiswa di Universitas Baghdad, masuk dalam Departement of Religion samapi tahun 1970. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas, serta meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Di luar kampus,Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sini pula lah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.
Setelah tamat dari universitas tersebut, Gus Dur pergi ke Universitas Leiden, belanda untuk melanjutkan pendidikan pasca sarjana. Akan tetapi, persyaratan yang ketat, terutama dalam bidang bahasa -misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman- tidak dapat dipenuhinya, hal yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Dari Belanda, Wahid pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.Untuk biaya hidup di rantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya perjalanan studinya berakhir setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.
2.       Karir awal
Karir awal Gus Dur adalah bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. Di lembaga tersebut, ia bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono banyak melakukan proyek pengembangan pesantren. Kemudian,  Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
LP3ES sendiri mendirikan majalah yang disebut Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Ia pun berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa, merasa prihatin dengan kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren luntur akibat pesantren memaksakan diri mengadopsi kurikulum pemerintah untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah. Hal ini pun diperparah oleh kemiskinan pesantren pada masa itu.
Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Ia pun menjadi seorang guru di Jombang. Pada tahun 1971, Gus Dur pun bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Adapun pada tahun 1974, ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng. Satu tahun kemudian, Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada 1977, Ia bergabung dengan Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi. Sementara pada 1979, ia pindak ke Jakarta dengan mendirikan pesantren Ciganjur.

3.      Terlibat dengan NU
Pada tahun 1980, karier Gus Dur semakin melesat setelah ia dipercaya menjadi wakil katib syuriyah PBNU setelah sebelumnya menolak bergabung dengan struktural NU karena lebih memilih menjadi intelektual publik. Budaya kritis-progressifnya membuat  Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur pun semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Contoh hal yang kontroversial selaku seorang tokoh ulama sekaligus pengurus PBNU adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
     Bagi Gus Dur, pengalaman pertama bersinggungan dengan politik praktis ialah pada saat ia berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahuin 1982. Prilaku tersebut ditanggapi rezim orde baru yang otoritarian dan militeristik adala dengan sebuah penangkapan atas dirinya, namun dikeluarkan kembali karena ia mempunyai kedekatan dengan jendreal Beni Moerdani.
1.      Reformasi NU
Kiprah pertama Gus Dur di PBNU adalah menjadi tim tujuh untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Hal ini dikarenakan NU dipandang sebagai organisasi masyarakat yang statis. Moment lain bagi prestasi Gus dur ialah pada saat petinggi NU berharap Idham Chalid mundur dari posisinya sebagai ketua PBNU, empat hari berikutnya Gus Dur datang menemui ketua PBNU tersebut  dan mengatakan bahwa kemunduran dirinya tersebut inkonstitusional. Gus dur bersama tim tujuh akhirnya mampu menegosiasikan kemundurannya hingga konstelasi politik elit  NU tetap pada relnya.
Berkaitan dengan ideologi negara yang saat itu menjadi perdebatan sengit yang berkepanjangan sejak kemerdekaan Indonesia, Soeharto mengeluarkan keputusan untuk menjadikan pancasila sebagai asa tunggal Indonesia. Alasan normatifnya adalah menghilangkan perdebatan yang mengganggu stabilitas politik negara. Akan tetapi, secara politis, gagasan tersebut muncul untuk menghegemonisasi berbagai aliran yang berkembang sehingga mampu ia pantau dan kendalikan melalui asa tunggal tersebut. Peristiwa ini terjadi pada 1983, setelah ia dipilih kembali oleh MPR. Kebijakan ini membuat Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon terhadap kebijakan tersebut Juni hingga Oktober 1983.  Melalui epistimologi ahlussunnah wal jamaah yang menjadi pegangan bahsul masail tersebut, akhirnya kelompok tersebut menyatakan NU harus menerima pancasila sebagai ideologi negara. Dengan pernyataan tersebut, Nu menjadi organisasi masyarakat pertama yang menyatakan penerimaannya terhadap pancasila, sekaligus menjadi bukti sikap tawasuth yang dimiliki NU, termasuk Gus Dur. Adapun pada tahun itu juga, Gus Dur menyatakan keluar dari PPP dan berfokus kepada Nu, begitu pula Nu, keluar dari partai politik dan berfokus pada sosial kemasyarakatan yang lebih luas.
2.      Manuver Ketua PBNU
Reformasi-reformasi yang dilakukan Gus Dur terhadap Nu semakin membuat prestasi dan popularitasnya naik di kalangan elit Nu. Hal ini terbukti pada Munas 1984, banyak kalangan elit NU yang  menominasikan Gus Dur menjadi ketua PBNU. Melalui  aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin, Gus Dur terpilih untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto. Hal ini dibuktikan dengan penunjukkan Gus dur oleh soeharto sebagai indoktrinator Pancasila pada tahun 1985. Pada tahun 1987, manuver Gus Dur ditunjukkan dengan dukungan lebih lanjut terhadap rezim. Manuver tersebut sangat kontroversial karena mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Suharto. Lebih lanjut lagi, sikapnya yang dinilai kontroversial adalah  dirinya  menjadi anggota MPR mewakili Golkar.
Meskipun demikian disukai rezim penguasa Orde Baru, ia pun mampu mengkritik pemerintah karena pembangunan waduk omb didanai bank dunia. Selama msa jabatannya sebagai ketua PBNU ini, Gus Dur konsen dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim yang sering ditafsirkan secara tekstual. Dalam hal ini, fenomena kontroversial yang ia lontarkan salah satunya adalah Gus Dur pernah mengharapkan mengubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat pagi".
4.      Politik praktis
a.       Politik Oposisi
Politik oposisi yang paling tampak  Gus Dur lakukan ialah pada saat ia kembali terpilih menjadi ketua PBNU pada Musyawarah nasional NU tahun 1989. Ia dikenal kritis terhadap pemerintah. Kontradiksi Soeharto dengan kaum Islam tradisionalis yang dipimpin Gus Dur beserta keterlibatannya dalam konflik dengan ABRI yang menjadi basis kekuatan Soeharto sendiri, ia mulai mencari anti tesis dengan cara  menarik simpati muslim puritan, komunitas yang dahulu dijauhi Soeharto. Cara yang ia tempuh adalah  dengan mendirikan ICMI pada 1990, serta BJ. Habibi sebagai ketuanya.
Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Akan tetapi, Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat. Pada tahun 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan ulang tahun NU ke-66 dengan mengadakan Rapat Akbar nu ke 66 dihadiri sekitar 1 juta muslim, dengan bertemakan melakukan dukungan kembali kepada pancasila. Sejatinya, secara ideologis NU telah menyatakan sejak delapan tahun yang lalu untuk menerima asas pancasila. Jika pernyataan ini tidak dikolerasikan dengan konstelasi politik saat itu, tentu hal ini menjadi sebuah paradok. Lebih ironi lagi adalah pada saat Soeharto menghalang halangi agenda tersebut dengan mendatangkan polisi untuk mengusir bus yang membawa peserta rapat akbar setibanya di Jakarta, padahal dirinya adalah penegak pancasila sebagai asas tunggal Negara. Ekses dari sabotase tersebut, Gus dur memberi surat protes kepada soeharto menyatakan NU tidak diberi kesempatan untuk menampilkan islam yang terbuka, adil, dan toleran. Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, gagasan-gagasan progressifnya banyak membuat otokritik dan antipati dari internal NU sendiri, meskipun tidak sedikit pula yang bersimpati kepada gagasan-gagasan ijtihadnya. Sebagai ketua, Gus Dur pun terus mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober 1994.
Adapun menjelang munas NU pada 1994, Gus Dur menominasikan dirinya kembali sebagai calon ketua PBNU untuk ketiga kalinya. Dalam hal ini, Soeharto tidak menyetujuinya dan mengirimkan Habibi dan Harmoko untuk berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur pada minggu-minggu menjelang munas. Pada pelaksanaannya, ABRI menjaga ketat proses pelaksanaan munas, selain membagikan uang kepada anggota NU  untuk tidak memilihnya. Akan tetapi, Gus Dur tetap terpilih menjadi ketua PBNU.
Pada masa kepemimpinannya yang ketiga, Gus Dur mulai melakukan aliansi dengan Megawati dari PDI yang pada waktu itu sama-sama menjadi oposisi. Megawati sendiri, dengan popularitasnya yang tinggi sebagai oposisi, tetap berusaha menekan rezim soeharto. Sikap Gus Dur untuk menasehati Megawati agar berhati-hati dengan Soeharto dan berusaha untuk menolak dipilih menjadi presiden pada sidang umum 1998 diacuhkan Megawati. Sikap Megawati tersebut dinilai untuk melakukan balasan atas  markas PDI nya yang diambil alih  para pendukung PDI yang didukung pemerintah, Soerjadi.
Menanggapi sikap Megawati tersebut, Gus Dur memilih untuk mundur secara politik dengan merapat terhadap Soeharto. Manuver ini bisa dinilai paradoks dan kadang sering menimbulkan multi tafsir, bahkan bagi sebagian kalangan dinilai oportunis. Pada November 1996, Gus Dur mulai bertemu dengan Soeharto sejak keterpilihannya pada munas 1994 serta bertemu dengan orang-orang yang dulu berusaha menghalanginya pada pemilihan ketua PBNU 1994. Di samping itu, Gus Dur tetap melakukan reformasi secara terbuka dengan cara melakukan pertemuan dengan Amin Rais, ketua ICMI yang kritis terhadap pemerintah.
Pada 1997, Krisis moneter Asia melanda Indonesia. Soeharto mulai kehilangan kendali dalam mengendalikan krisis tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi bersama Amin Rais dan Megawati, namun Gus Dur terkena stroke. Dari rumah sakit, Gus Dur melihat situasi Indonesia makin memburuk dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden, serta terjadinya aksi protes besar-besaran mahasiswa yang menyebabkan kerusuhan dan penembakan 6 orang mahasiswa Tri sakti. Anarkisme tersebut membuat Soeharto mengundang Gus Due beserta 8 orang tokoh dari berbagai komunitas untuk menghadap ke kediaman Soeharto dan memberikan konsep komite reformasi.
Akan tetapi, Sembilan tokoh tersebut menolak usulan bergabung dengan komite reformasi.  Sikap kemoderatan Gus Dur untuk menghentikan demonstrasi besar-besaran mulai dikritik Amin Rais. Pledoi Gus Dur atas pernyataan tersebuat adalah mencegah pertumpahan darah antara ABRI dan mahasiswa serta melihat apakah soeharto akan menepati janjinya atau tidak. Sementara, bagi Amin Rais, demonstrasi harus terus dijalankan untuk melakukan pressure dalam menumbangkan rezim otoritarianisme Soeharto. Pada akhirnya, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. BJ Habibi yang pada waktu itu sebagai wakil presiden otomatis naik menjadi presiden, menggantikan Soeharto.

b.      Menjadi Presiden
Perubahan peta politik pasca kejatuhan Soeharto ialah bermunculannya partai-partai politik baru. Di antara partai baru tersebut ialah PAN yang dipimpin Amin Rais, PDI Perjuangan yang dibentuk Megawati, serta PKB yang dibentuk Gus dur sendiri. Banyak pihak yang menyayangkan Gus Dur harus terjun ke partai politik, akan tetapi Bagi Gus Dur yang didesak komunitas NU, beralasan bahwa mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar pada sidang umum. Gus Dur bersama Amin Rais, Megawati, dan Sultan Hamengkubuwono X melakukan pertemuan di Ciganjur untuk meneruskan agenda reformasinya.
Adapun konstelasi politik menjelang pemilihan presiden pada 1999, menurut Greg barton adalah sebagai berikut.
 Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.[6]


c.       Menjadi Presiden ke-4

Kabinet pertama Gus Dur bernama Kabinet Persatuan Nasional, yaitu kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Begiru pula Non-partisan dan TNI juga ada dalam kabinet tersebut. Dua agenda gus Dur dalam reformasi adalah pembubaran departemen penerangan sebagai media pemerintah yang selalu menghegemoni media, beserta membubarkan departemen sosial yang korup.
Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina. Adapun dalam menghadapi disintegrasi kedaulatan negara dan berbagai potensi konflik yang sedang berkecamuk, Gus melakukan pendekatan-pendekatan Lunak. Bagi separatis Aceh yang menginginkan pemisahan diri dari Indonesia, Gus Dur memberikan referendum kepada Aceh untuk melakukan otonomi khusus kepada Aceh, sehingga gerakan separatis tersebut bisa selesai dengan jalan damai. Ia pun melakukan pendekatan lebih dengan mengurang jumlah personil militer di Aceh. Sementara pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Papua yang sedang berkecamuk konflik dan berhasil meyakinkan rakyat papua untuk menggunakan nama tersebut sebagai pengganti Irian Jaya sehingga papua bisa tetap pada posisinya sebagai bagian dari NKRI.
pada Januari 2000, Gus Dur melakukan kunjungan kepada Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia, serta Arab Saudi pada perjalanan pulang. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.
Hal yang menghebohkan adalah pada saat perjalanannya ke Eropa, Gus Dur meminta Wiranto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menko polkam. Gus Dur melihat Wiranto sebagai penghalang agenda reformasi militernya, serta tuduhan pelanggaran HAM nya di Timor Timur.
Sekembalinya ke Jakarta, Wiranto berhasil meyakinkan Gus Dur untuk tidak menggantikan posisinya. Akan tetapi, beberapa waktu kemudian Gus Dur kembali pada pendirian awal untuk memecatnya. Pada April 2000, Gus Dur pun memecat menteri perindustrian dan perdagangan Jusuf Kalla, serta menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Pemecatan ini otomatis merenggangkan hubungannya dengan Golkar dan PDI Perjuangan.
Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM. Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut. Padahal, TAP tersebut merupakan hal yang tabu untuk diotak-atik mengingat tragedi G 30 SPKI yang diklaim Soeharto berasal dari pemikiran Marxis-leninis. Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel sehingga membuat kemarahan banyak muslim di Indonesia.
Kaitannya dengan afiliasi militer terhadap politik yang terjadi selama masa Orde baru, Gus Dur menjadi tokoh pertama yang berhasil mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik. Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali harus menurut pada tekanan tersebut.
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad dengan alasan konfrontasi tersebut tidak akan menyekesaikan permasalahan SARA tersebut, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh senjata TNI.
pada tahun 2000, muncul skandal Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian menjatuhkannya. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu Wahid seperti Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya meskipun terjadi berbagai skandal dan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Wahid menyadari kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan sebagian tugas. Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas tersebut.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia. Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan Abdurrahman Wahid. Pada akhir November, 151 DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.
Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi. Pertempuan tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inagurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.

Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2009.

TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar.

Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Abdurrahman Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.

         




[1] Pembahasan parhessia mengenai pemikiran Gus Dur dibahas lebih mendalam dalam Ijtihad Politik Gus Dur, Munawar Ahmad, Hal. 5.
[2] Ibid, hal. 73
[3] Ibid, hal 75
[4] Barton, Biografi Gus dur, hal. 44
[6] Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid, pada 23 Agustus  2012, pukul 21.43 wib.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar