Kamis, 25 April 2013

Kolom sastera



Tidur.... The Best Friend!!

Tidur bagiku adalah relaksasi paling ampuh untuk menghilangkan stress dan cape. Semua  penat atau pun capai yang menyelimuti selama beraktivitas seharian akan hilang dengan sekejap manakala tidur telah tiba, apalagi tidur tersebut penuh nyenyak. Pengalaman membuktikan bahwa tidur yang cukup akan terbebas dari stress, membuat tubuhku fit  dan pikiran fresh. Lain halnya jika kekuarangan sitirahat di tengah banyak aktivitas, apalagi aktivitas di luar yang menuntut untuk begadang semalaman, terasa benar lunglai dan pusing. 
Lain halnya dengan banyak orang yang mempunyai kelainan dengan tidur. Banyak diantaranya sahabat-sahabat yang mengeluh lantaran sulit tidur, bahkan tak bisa memejamkan mata hingga larut subuh. Tak sedikit juga yang mengatakan alergi ngantuk dengan benda-benda tertentu, seperti selimut, bantal, kasur. Begitu golongan kedua ini melihat hal-hal tersebut, atau berdekatan dengannya, tiba-tiba imajinasi untuk hendak tidur langsung menyelimuti . Memang terkesan aneh dan mengada-ada, tapi pengalaman  berbicara demikian. Tidak aneh pula jika ada yang cerdas karena tidurnya, di samping fenomena orang banyak tidur adalah pangkal kebodohan. Pertanyaan mendasar adalah, “Bagaimana me-manage tidur tersebut?

Entah ada dalam kamus ilmiah atau tidak, bagiku tidur tak hanya membuat orang malas, tapi juga mampu membuat orang berkarya. Tidur, jika benar-benar diteliti, bisa dijadikan sebagai imajinasi berkarya, misalnya melalui lagunya Mbah surip. Bahkan, jangankan manusia yang berakal, spesies hewan semacam beruang kutub pun mampu memanfaatkan tidur di musim dingin untuk menjaga cadangannya. Meskipun memang banyak juga yang memanfaatkan tidur pada tempatnya banyak menjadi malapetaka, bahkan hingga kehilangan nyawa. Faktanya, reputasi DPR bisa menurun karena tidur pada saat sidang, produktifitas kerja menurun  karena banyak tidur di kantor, bahkan banyak sopir yang masuk jurang atau tabrakan karena tertidur saat mengemudi.
            Hal yang kelihatan sepele semacam tidur akan mampu menjadi perubahan besar dalam sejarah, bahkan menjadi fenomenal di dunia. Misalnya, Ali bin Abi Thalib yang menerapkan strategi tidur di kamar tidur Rasulullah saat Rasululah hendak hijrah ke Madinah di malam hari sehingga Kafir Quraisy yang mengepung rumah Rasulullah menyangka beliau masih tidur, pada akhirnya mereka terkecoh ketika hendak mengepung Rasulullah karena ternyata yang tidur tersebut adalah Ali bin Abi thalib, pemuda yang disegani mereka. Rasulullah pun berhasil hijrah lebih dahulu. Dapat dibayangkan jika strategi tidur tersebut tidak dilakukan, tidak mustahil jika Rasulullah terkepung, hijrah tertunda, bahkan batal, maka kemajuan peradaban dunia sebagai hasil pasca hijrah tidak terjadi.
Di sisi lain, tidur pun mampu menjadi polemik banyak negarawan, penuh teka teki, bahkan banyak membuat fenomena politik kenegaraan. Sejarah mencatat, dalam banyak sidang, kunjungan ke negara lain, atau pun dalam berdiplomasi, presiden RI ke empat sering ketiduran di event penting tersebut. Aneh memang jika wakil negara Indonesia kok bisa-bisanya tertidur saat tamu atau diplomat asing, salah satunya ketika beliau bertamu ke negeri Iran. Tapi lebih aneh lagi jika setelah beliau bangun dan menyampaikan tangapan atas nama Indonesia, beliau menangkap gagasan lawan bicara, mampu menanggapinya secara fasikh, bahkan lebih fasikh dibandingkan dengan menteri luar negeri Indonesia saat itu, Alwi Shihab. Semua pihak dalam hal ini mengakui kecerdasan Gus Dur menangkap realitas yang sesungguhnya dalam keadaan sesungguhnya, sungguh di luar kebiasaan. Fenomena-fenomena tersebut banyak dijumpai di situs video you tube, atau buku-buku tentang Gus Dur. Pertanyaan kedua, jika benar tidur ala Gus Dur mampu menangkap realitas,  lalu apa yang dimaksud tidur menurut dirinya? ada maqam jenis tidur, dan bagaimana tidur  dipahami?
            Bagi saya sendiri, tidur ialah tempat persinggahan di sela-sela aktivitas. Meski kadang sangat mengganggu, tidak jarang juga tidur mampu menghilangkan segala penat dan pusing yang menyelimuti. Hanya dengan menyediakan bantal, selimut, atau tempat PW (posisi Wenak), rasa kantuk di tengah lelah pasti datang segera. Orang mengatakan saya tumor (tukang molor- penidur). Ejekan tersebut memang menyakitkan, mengingat tidur identik dengan kemalasan. Tapi mengelak bukanlah sebuah kebijaksanaan. apakah ini bagian dari gangguan kejiwaan, penyakit keturunan, atau apa, entahlah. Sudah sejak lama gejala ini hadir menempa aktivitas hidup. Yang jelas, aku tak dapat mengelak dari kenyataan bahwa aku menderita gampang tidur –atau juga mungkin penyakit tidur. Di sisi lain, ejekan tersebut tak dapat memberikan solusi bagi perjalanan. Lama waktu berselang, ejekan malah menjadi kebiasaan dan mereka uyang bosan berkelakar dengan hal tersebut.  Mungkin juga mereka berganti menjadi penasaran, aku tak tahu.
            Mereka berkata bahwa aku cocok menjadi anggota DPR, haa.. kenapa? Karena banyak di antara para pejabat tersebut menjadikan tidur saat rapat sebagai pekerjaan. Lucu tapi menyakitkan, bukan?! Mereka menghkawatirkanku kadang-kadang. Mungkin terlihat peduli. Tapi jika khawatir tersebut karena takut aku tak sadarkan diri jika rumahku terbakar saat aku sedang tidur, tentu bukan lelucon yang bagus. Pertanyaan terus menghantamku hingga pertanyaan itu habis dengan sendirinya. Pada akhirnya, mereka memutar balik pertanyaan mengejek menjadi pertanyaan konsultasi. “Bagaimana cara cepat tidur untuk menghilangkan mumet di kepalaku? Semalaman gak bisa tidur. Bagaimana bisa tidur di hadapan dosen di depan kelas tanfa ditegur? Bagaimana cara belajar saat tidur di kelas?” banyak juga rupanya pertanyaan serupa. Rasanya nyaman sekali saat tidur yang tak bisa dihilangkan akhirnya menjadi sahabatku, identitas lainku. Aku bisa tidur tanfa ada orang yang mengejekku, bahkan menjadikan tidur sebagai energi positif. Sungguh menakjubkan.
            Sebagai bagian dari kemalasan, jelas aku sering terlena olehnya. Banyak tugas yang kadang-kadang molor gara-gara tidur. Lebih baik tidur dari pada terkantuk bekerja adalah penyakit utama, sebenarnya. Yang terjadi selanjutnya sudah bisa diprediksi, semua pekerjaanku molor, sehingga pekerjaan bertambah menumpuk. Menunda pekerjaan yang masih bisa dilaksanakan saat ini adalah awal dari kekacauan aktivitas berikutnya.
Apalagi, akhir-akhir ini disibukkan dengan  banyak organisasi ekstra kampus di sela-sela kuliah hingga larut malam. Siang terkuras tenaga, tidur terlalu malam, bangun kesiangan. Jarang melakukan qiyamullail seperti dahulu, jarang membaca buku seperti dahulu. Semua ruang privatku diwakafkan untuk organisasi tanfa mendisiplinkan waktu. Rasa-rasanya ingin bisa kembali bertafakur di saat orang-orang tertidur pulas, menuliskan semua petualanganku pada lembaran-lembaran kertas dalam kesunyian. berat betul mensinergikan kehidupan kuliah, organisasi daerah, organisasi ekstra dan intra kampus, lembaga kajian, bisnis, dan menulis. Selalu ada hal yang diprioritaskan, paling tidak untuk jangka pendek, apalagi kepepet.
            Ketika orang bertanya, sejak kapan aku suka tidur, aku jawab mungkin sejak aku mengenalnya. Perkenalan itulah yang membuat aku bersahabat, membuat aku menyukainya. Sejak kecil saat ibuku mengantarkan ke pesantren, ditegur Pak Kiyai karena selalu tidur di saat mengaji adalah kebiasaan. Saat kantuk tiba, aku pasrah menyerah untuknya. Kadang di kasur, kadang di lantai, kadang di surau, di mesjid, di kelas, di kampus, di  bawah pohon, di sandaran tembok, di saat diskusi, di saat mengaji, di saat curhat, bahkan pernah ketiduran di jamban. Benar-benar aku tak dapat membuktikanya, hanya aku adalah aktor yang pernah mengalami dan merasakannya. Entahlah.
Ada pengalaman konyol saat dahulu masih di pesantren. Tiap mengaji, pasti tertidur. Dalam seminggu, hampir tiap malam aku tak dapat menyimak pelajaran yang disampaikan sang ustadz. Disindir pernah, dijahili teman-teman sering, dimarahi pernah. Aku pernah mencoba menggunakan minyak telon yang dioleskan di bawah pelipis mata, pernah mengoles-olehkan kulit bawang ke pipi agar perih dan terjaga, pernah pula menggerak-gerakan sebagian badan untuk menguatkan konsentrasi, bahkan pernah pula aku membawa gayung ke bawah meja hingga jika aku terkantuk, aku tinggal mengusap mukaku dengan air.
Guru mengaji kadang kebingungan hanya untuk membuat aku tidak tertidur saat mengaji. Ia menyuruh aku berwudhu, atau mengulangi penjelasan guru, atau hal lain. Ada saja ide-ide yang beliau lakukan untuk membangunkanku. Hal yang paling kuingat ialah pada saat ia memukul meja untuk menggertak santri yang terkantuk agar bangun. Setengah marah ia menyindir dengan tegas. Tentu saja aku bagian dari objek sindirannya. Hal yang aneh adalah para santri yang malah menahan tawa di tengah teguran pa Kiyai. Aku menengok ke kiri, ke kanan, padahal biasa saja menurutku. Keanehan kedua adalah pada saat marah bergelantungan, tiba-tiba  pak Kiyai menghentikan amarahnya. Ada apa sebenarnya? Keganjilan tersebut terjawab saat tersentak saat  aku menengok ke belakang, kusaksikan wajah Pak Haji sepuh (pemilik pesantren tersebut) merasa salah tingkah dan kikuk, turut menjadi objek penderitaan. Sorotan matanya penuh malu. Pasalnya, ia kebetulan ikut mengaji, kebetulan pula sama ungguk-ungguk karena terkantuk-kantuk saat mengaji.
Posisi duduknya dan pecinya yang miring dan bersandar di tembok tiba-tiba ia tegakkan kembali seperi sedia kala, seolah menutupi diri bahwa dirinya tidak terkantuk, bukan objek penderitaan. Tak ada yang bicara, tidak pak Kiyai, tidak pula Pak haji. Saling kikuk antara pemilik pesantren dengan pengajar cukup sudah menjadi senjataku, bahwa selama Pak Haji ikut mengaji, selama itu pula akhirnya Pak Kiyai tak mampu lagi menegurku. Aku menunduk penuh senyuman menyaksikan tingkah aneh tersebut.
Ada pula pengalaman memalukan karena tertidur adalah saat menjadi muadzin di salah satu komplek di Bandung, ketika masih semester tiga. Seperti biasa, sebelum adzan jumat tiba, aku menyampaikan laporan keuangan DKM dan banyak pengumuman dengan penuh wibawa.  Proseduralnya seperti biasa, khatib naik ke mimbar, aku adzan shalat jumat, khatib menyampaikan khutbah dan aku duduk di barisan pertama depan mimbar bersama teman muadzinku. Dengan penuh takzim semua jamaah menyimak petuah sang khatib.
Akan tetapi situasi menjadi aneh ketika khatib duduk di belakang mimbarnya di sela-sela khutbahnya. Tak ada suara, tak ada obrolan. Saat itulah kami tersentak sadar. Sejatinya sebagai seorang muadzin, aku harus iqomat pasca khutbah selesai. Yang menjadi pertanyaan membisu ialah apakah duduknya sang khatib menandakan berakhirnya khutbah, atau baru khutbah pertama? Kami saling pandang, saling menggerakkan mata tanda tak faham kondisi sebenarnya. Jika memang saatnya iqomat, maka aku berbegas untuk berdiri. Akan tatapi jika baru khutbah pertama, apa jadinya jika aku iqomat di sela-sela khutbah pertama dan kedua. Tentu insiden besar yang memalukan akan menyebar di seluruh warga kompleks. Begitu juga jika aku tidak berdiri dan ternyata khutbah telah selesai, maka aku akan kelihatan jelas sedang tertidur saat khutbah tiba.
Bertanya pada jamaah di samping tentu bukan hal yang indah mengingat tidak boleh berbicara pada saat khutbah berlangsung. Saling melempar tanggungjawab di antara kami berdua pun bukan tipikal seorang muadzin yang bertanggung jawab. Aku ambil inisiatif, dengan harapan bahwa kesunyian jamaah menandakan mereka menanti iqomatku terlantun. Aku berdiri, dan ternyata benar..... semuanya tiba-tiba menjadi luar biasa gaduh. Hal lucu namun naïf terjadi saat jamaah di sampingku menarik sarungku, begitu pula khatib pun tak memberikan mikropon padaku. Adapun jamaah yang tidur menjadi keheranan lantaran suasana yang sepi tiba-tiba seperti pasar ikan yang gaduh, begitu pula anak-anak di luar mesjid menertawakanku. Aku benar-benar salah ambil tindakan. Ternyata saat itu adalah duduk di antara dua khutbah. Jika saja aku bisa menggali lubang, ingin rasanya mukaku ditaruh sebentar saja di sana, buat sekedar tidak memperlihatkan rasa maluku pada semua. Tapi itu bukan mimpi. Itu realita. Aku pasrah pada kenyataan, bahwa aku memang benar-benar ketahuan sedang terkantuk-kantuk saat khutbah berlangsung.
Banyak kejadian konyol sebenarnya. Contohnya saja ketika masih SD, aku terkantuk-kantuk, sama juga saat menjelang shalat jumat di mesjid. Badanku tak bisa aku kendalikan karena kesadaranku tak stabil. Ia kedepan dan ke belakang seperti bandul yang mengayunkan diri. Karena tak kuat menjaga kestabilan badan saat duduk, badanku tersungkur ke sejadah dan ketika itulah dentuman dari bagian bokongku keluar. Mungkin baru pertama kali orang menyaksikan buang angin berdentum pada saat jumatan. Benar-benar malu, dan segera ingin mendorong waktu kian cepat agar jumatan cepat selesai dan aku cepat kabur. Pura-pura tidak bersalah, aku langsung keluar mesjid dan berwudhu kembali.
Banyak cerita sebenarnya tentang tidurku. Baik yang konyol, memalukan, melegakan, tidur paling cepat, tidur paling nyenyak, tidur paling sederhana, paling  cepat bangun tidur, tidur paling murah, banyak hal. Selama belasan tahun aku mengalami gejala ini, bahkan mungkin selama aku punya ingatan, dalam dua puluh dua tahunan ini. Aku sudah cukup mempunyai pengalaman baik-buruk, bahkan trik sederhana untuk mengalihkan aktivitasku. Aku bukan tipikal konsumen obat-obatan yang perlu uang mahal untuk bisa tidur. Bagiku, biarlah tidur menjadi identitas lainku. Biarlah itu menjadi energi positif yang aku kumpulkan untuk bergerak.
Saat tenaga terkuras, tidurlah, maka tenaga pulih kembali untuk bergerak lebih cepat dibanding orang lain. Saat pusing, tidurlah. Pe-er saat ini adalah bagaimana tetap bertahan di luar zona aman, terutama masalah tidur. Indah rasanya jika tidur nyenyak di waktu lelah, kemudian bangun di saat orang-orang tertidur lelap. Di sanalah indahnya saat terjaga. Eksplorasi wacana, eksplorasi mimpi-mimpi, munajat, tafakur, bahkan berevaluasi dan bermimpi. Menyaksikan fajar tiba dengan mengayunkan kaki ke mesjid bersama-sama adalah kerinduan. Meminum kopi hangat sambil mempersiapkan meja kerja, kuliah, organisasi, ekonomi, tulisan. Merajut S2 dengan beasiswa, menggerakan basis pemuda dengan karya, dan menjadi penyambung antar peradaban lewat tinta adalah impian yang harus istiqomah dialankan.
Mungkin bagi orang lain terlalu tamak untuk meraup berbagai kegiatan, tidak fokus, tidak totalitas, tidak akan menghasilkan kualitas optimal. Boleh-boleh saja, hanya bagiku, diam di tengah pertarungan adalah bunuh diri dan tergerus ketinggalan zaman. Benar jika tubuhku kian kerempeng karena pola makan dan pola tidurku tak seimbang, ototku mengerut dihabiskan aktivitas. Tapi apakah ada cara lain untuk mempercepat menuju sukses. Benar bahwa sukses bukanlah kuantitas, tapi ia adalah kualitas. Artinya, bukan karena banyak sedikitnya komunitas, bukan karena banyak sedikitnya aktivitas, tapi bagaimana menciptakan waktu kian produktif di tengah-tengak kompleksitas. Totalitas bukan menafikan aktifitas lain, tapi ia adalah mengoptimalkan produktifitas sesuai dengan prioritas. Di tengah pergumulan tersebut, tidur adalah teman yang menenangkan kekalutanku... aku masih percaya, tidur adalah anugerah yang Tuhan berikan untuk menemani perjalanan dan misi besarku.

Iji Jaelani....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar